Menghargai Kembali Uang Kepeng sebagai

Media Pertukaran Lokal di Bali

Oleh Stephen DeMeulenaere, 2005
Asia Coordinator,
Strohalm Foundation for Integrated Economics (Holland)

Diterjemahan Oleh:
Agung Edi Dahono

Uang Cina, yang dikenal secara umum di Indonesia sebagai uang kepeng atau pis bolong, sudah beredar sebagai alat pembayaran di Bali untuk paling tidak 1.100 tahun yang lalu, dan baru berhenti dipakai untuk pembayaran / pembelian di tingkat lokal sejak awal tahun 1970an. Sampai pada waktu itu, orang Bali bisa memakai uang kepeng untuk berbagai macam keperluan, dari membeli daging dan sayur di pasar, makanan kecil di depan sekolah, menonton film dengan teman di bioskop (atau layer tancep): atau pada dasarnya bisa dipakai untuk apa saja yang melibatkan pertukaran sebagai kebutuhan dasar. Bali, sampai pada tahun 1970an dan sebagian besar pada hari ini, meskipun ada industri kepariwisataan sangat besar, perekonomian hanya untuk sekedar mempertahankan kehidupan.

Sepanjang sejarah, uang kepeng sangat penting bagi orang Bali, menyinggung semua aspek jiwa mereka, budaya, agama, sosial, politik dan ekonomi. Hari ini, nilai uang kepeng hanya berhubungan dengan penggunaan kebudayaan dalam hal seni dan agama, sedangkan untuk aspek sosial, politik dan ekonomi sudah bertambah kabur. Sementara itu, kenangan mata uang sebagai media kuno bagi pertukaran lokal masih tersisa segar di dalam ingatan.

Penggunaan uang kepeng untuk urusan budaya sudah menghabiskan persediaan uang logam, sedangkan hasil produksi uang logam yang berikutnya berkualitas jelek yang tidak sesuai dengan standar untuk digunakan dalam acara budaya dan agama itu. Yayasan Bali Heritage sedang berusaha keras untuk menambah persediaan uang kepeng yang memenuhi standar untuk bisa digunakan sebagai sarana upacara agama maupun budaya, dengan cara memproduksi uang kepeng baru sesuai dengan syarat-syarat yang memenuhi kegunaan untuk upacara agama maupun budaya dan dengan sekaligus bisa digunakan untuk tujuan budaya atau dengan kata lain bisa digunakan untuk keseharian sebagi alat tukar yang mempunyai nilai.

Sementara itu rentetan bencana yang melanda Bali baik sebelum ataupun sesudah pemboman oleh teroris pada 2002, memberi pukulan yang serius bagi perekonomian bahkan sampai pada perekonomian lokal. Penurunan dalam bidang pariwisata dan export secara drastic memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat Bali, yang akhirnya membuat mereka berpaling kembali ke bidang pertanian untuk bisa mempertahankan kehidupannya. Tetapi bagaimanapun, persediaan uang ditingkat lokal tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan lokal, maka karena itu masyarakat semakin merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Bukan hanya di Bali saja orang sering berpikir bahwa nilai uang, entah bagaimana, tersimpan dalam bahan baku yang digunakan untuk membuatnya. Mereka melihat ukuran, berat, bentuk dan disain, campuran bahan yang dipakai, dengan tidak mempertimbangkan aspek yang lebih mendalam dari nilainya, aspek yang berhubungan dengan sejarah, budaya dan masyarakat, dan melalui aspek ini ke bagaimana kita mengelola diri sendiri, atau untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari yang memakai uang. Sedangkan nilai budaya mata uang tradisional sangatlah penting, dengan hanya menilai mata uang dengan cara seperti itu akan membuat uang itu hanya menjadi barang sejarah, benda yang hanya untuk dipajang di museum, dan bukan sebagai media yang mengikat elemen kebudayaan ini bersama-sama dan membantu menghasilkan kehidupan yang berkesinambungan. Intinya, nilai nyata mata uang akan hilang kalau tidak beredar lagi.

Jika kita melihat bahwa penilaian uang lebih dari pada sekedar penampakan sifat fisiknya termasuk elemen lainnya, bukankah sebuah gagasan yang bagus untuk mempertimbangkan mengeluarkan uang kepeng lagi sebagai media alat tukar lokal? Selanjutnya, daripada mencari dukungan dari luar untuk untuk proyek-proyek memperbaiki pembangunan local dan kemandirian, bukankah lebih baik memakai system mandiri yang masyarakat Bali sudah sangat mengenal tetapi yang hanya beberapa waktu yang lalu tidak digunakan lagi?

Pada waktu yang lampau penggunaan uang kepeng sebagai alat pembayaran di Bali sudah memainkan peranan penting dalam kehidupan budaya Bali, agama, masyarakat, pemerintahan dan perekonomian, dan oleh karena itu sebaiknya dikeluarkan kembali sebagai keragaman alat pembayaran dengan memperhatikan tentang adanya kemunduran budaya dan permintaan yang semakin meningkat akan uang kepeng yang bernilai bagi masyarakat dan sekaligus mendukung elemen-elemen budaya masyarakat Bali.

Sejarah Uang Kepeng

Menurut buku sejarah kuno Bali, uang kepeng sudah beredar sebagai alat pembayaran yang utama di pulau Bali untuk paling tidak 1.100 tahun yang lalu. Jenis yang beragam dari uang logam ini, terbuat dari berbagai macam logam dan dengan tulisan yang berbeda, yang menjadi kesamaan adalah semua jenis uang logam ini mempunyai lubang di tengah, mirip ring untuk baut, yang membolehkan mereka untuk di renteng atau di ikat bersama untuk menjadi kesatuan-kesatuan mata uang yang lebih besar.

Sampai awal tahun 1900an, uang kepeng adalah mata uang yang dominan di Bali dan diterima sebagai alat pembayaran yang sah oleh orang lokal. Waktu orang Belanda akhirnya “menguasai” Bali di awal tahun 1900an, Gulden Belanda mengalir ke dalam pulau dan bisa terubahkan atau dianggap sebagai uang kepeng untuk penggunaan di pasar atau perdagangan/pertukaran, sebagaimana dikarenakan masyarakat Bali tidak menggunakan gulden Belanda.

Walaupun catatan penggunaan uang kepeng pada pertama kali sebagai alat pembayaran di Bali pada sekitar tahun 900 Masehi, keberadaan uang logam Cina Dinasti Tang (618-907 Masehi), dan produksi Gong/gamelan kuningan dan peredaran uang logam Vietnam, yang dibawa oleh kebudayaan Dong Son Vietnam ke Bali mulai abad ke4 Masehi menyiratkan bahwa pengenalan tentang mata uang jauh lebih awal. Tentu saja, uang logam Cina adalah alat pembayaran di sebagian besar Asia Timur dari paling tidak 1.000 tahun yang lalu. Tetapi, uang kepeng tidak pernah diproduksi di Bali untuk dipakai sebagai alat pembayaran. Hanya ketika tuntutan permintaan berdasar budaya bertambah maka uang logam itu diproduksi di dalam pulau.

Pada 1921, De Kat Angelino menulis artikel di jurnal/koran Belanda Koloniale Studien tentang uang kepeng yang membuat dia bertanya-tanya mengapa orang Bali lebih suka uang kepeng sebagai alat pembayaran dari pada uang Belanda, Inggris atau Meksiko, yang mereka sering dilebur menjadi barang-barang perhiasan perak. Dalam buku Miguel Covarrubias, “La Isla de Bali” (Pulau Bali) yang ditulis pada tahu 1930an dan diterbitkan setelah perang, dia menulis:

“Orang Bali tidak menganggap pada sistem keuangan Belanda yaitu gulden dan sen; di antaranya yang paling besar, ringgit, uang logam perak besar (senilai dua setengah gulden) yang biasanya dibagi menjadi 1.200 Kepeng.  Orang Bali tidak bisa menggambarkan orang asing menggunakan uang kepeng dan ketika saya membeli kacang tanah atau sebuah pisang di warung makan dan mereka tidak mempunyai sen Belanda untuk uang kembalian, penjual wanita mempersilahkan saya unutk melihat kantung yang berat yang  berisi uang kepeng yang terikat tali.

Setelah kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945, dan bahkan sesudah disahkannya undang-undang keuangan pada tahun 1951 yang menyatakan Rupiah adalah satu-satunya mata uang Indonesia, uang kepeng terus beredar sebagai media yang dapat ditukar sebagai keragaman media yang mudah ditukarkan untuk melakukan kegiatan perdagangan atau tukar-menukar barang dan jasa lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal sampai awal tahun 1970an.

Dengan begitu peredaran uang kepeng sebagai alat pertukaran dihentikan hanya 30 tahunan yang lalu, dan masih menjadi kenangan pada sebagian besar orang Bali. Kebanyakan orang Bali yang berusia di atas 35 tahun mengingat kembali bahwa orang-tua mereka memberi mereka uang saku dalam bentuk uang kepeng, yang dengan uang kepeng tersebut, mereka bisa membeli makan siang dan makanan kecil di sekolah atau membayar untuk hiburan. Orang dewasa yang lebih tua mengingat bahwa di dalam Banjar mereka, pemerintahan tradisional kuno yang demokratis, memungut denda untuk dibayarkan dalam bentuk uang Kepeng untuk kesalahan karena tidak mematuhi peraturan desa atau mengikuti pertemuan tepat pada waktunya. Orang lain, terutama para wanita, mengingat bahwa mereka memakai uang kepeng untuk membeli hampir semua kebutuhan sehari-hari rumah tangga di pasar. Tetapi bagaimanapun tanpa melihat usia atau jenis kelamin, setiap orang Bali mengenal Uang Kepeng sebagai media upacara dalam agama Hindu.

Dalam wawancara yang baru saja dilakukan dengan orang lokal Bali, mereka mengenang hari-hari ketika mereka bisa membeli apa yang mereka diperlukan dengan tidak menggunakan mata uang nasional Indonesia, yaitu Rupiah. Itu juga mengingatkan mereka pada fakta bahwa meskipun ada perkembangan ekonomi yang sangat cepat di pulau ini, sebagian besar orang di Bali masih menghidupkan cara swasembada pertanian pada saat ini. Cara hidup yang dalam cara sedikit berbeda daripada 60 tahun yang lalu, ketika seorang penulis Canada Colin McPhee, yang bertempat-tinggal di kota Ubud pada tahun 1930an, menulis di catatan perjalanan hidupnya di Bali:

“Setiap malam saya beri Koki satu gulden, pada waktu itu sekitar empat puluh sen, yang ditukarkannya ke dalam uang logam Cina ketika dia pergi ke pasar dini hari. Dia membeli ayam atau ikan yang bagus (segar), sayur, buah-buahan, telur, beras, kacang-kacangan, ikan kering (ikan asin) untuk dia sendiri dan anak laki-lakinya, dan masih ada sisa untuk membeli rokok dan sirih unutk dirinya sendiri.”

Meskipun uang kepeng berasal dari di Cina, tapi diadopsi atau diterima sepenuhnya oleh orang Bali untuk menjadi mata uang mereka, menggambarkan pertalian yang mengikat kebudayaan, agama, masyarakat, pemerintah dan ekonomi mereka bersama, dan memberi orang Bali pengertian tentang hubungan yang mendalam dengan sejarah mereka.

Uang Kepeng dan Kekuatan Traditional

Banjar adalah nama yang diberikan kepada pemerintah lokal tradisional Bali dan sampai hari ini terus menjadi alat pokok yang mengatur kehidupan sehari-hari di Bali, organisasi yang mengharuskan kepada semua laki-laki yang sudah menikah mengikuti dan mempunyainya. Buku sejarah kuno juga menjelaskan asal muasal Banjar pad sekitar tahun 900 masehi. Kemampuan Banjar untuk memelihara kekuatan dan keluwesannya melewati usia (sudah sekian lama sehingga sudah banyak pengalaman) menghasilkan lembaga yang mempersatukan (masyarakat) dengan erat, meliputi semua masyarakat dan demokratis yang saling tumpang-tindih, berhubungan dan dengan demikian secara erat mempunyai hubungan dengan tiga lembaga lokal lain, yaitu:

·         Subak, yang mana setiap petani padi di Banjar harus mengikuti dan mempunyainya, tetapi dilebarkan dengan memasukkan petani padi yang mengolah tanah di dalam lingkungan Banjar tetapi bertempat-tinggal di luar dan menjadi penduduk dan mengikuti Banjar yang berbeda.

·         Pemaksan, yang mana setiap orang Hindu di masing-masing Banjar mengikuti untuk mengelola kegiatan kerja kolektif (gotong royong) untuk upacara besar (Odalan) dan upacara yang mendadak.

·         Sekhe, yang mengelola kegiatan kolektif dalam aktivitas artistik termasuk kelompok gamelan, kelompok-kelompok tarian dan drama, membuat layang-layang dan kelompok yang menerbangkannya, kerlompok seni lukis dan pahat, dan semacamnya.

Selama lebih dari 1.100 tahun, uang kepeng menjadi sistem keuangan pemerintah Banjar dan lewat metode partisipasi yang demokratis membantu memajukan kebudayaan Bali.

Colin McPhee menggambarkan bagaimana uang kepeng menjadi pusat pemerintahan tradisional masyarakat Bali:

“Jauh sebelum diadakannya sebuah perjamuan atau pesta upacara para sesepuh bertemu untuk menentukan jumlah persembahan, berapa biaya yang akan dikeluarkan. Mereka duduk melingkar di persimpangan jalan, menjawab ketika pada gilirannya nama mereka dibaca keras-keras oleh Klian Banjar (pemimpin pemerintah local yang dipilih). Tiang!! (Saya!)

Kata ini terlontar secara cepat dan tidak ada hubungannya dengan (tidak berarti) tiang (pilar)gedung yang menyangga atap, karena tulisan dan bacaannya sama tetapi artinya berbeda. Ketika tidak ada jawaban setelah Klian membaca sebuah nama, Klian membuat coretan dengan pisau di buku daun palemnya: denda sepuluh kepeng untuk ketidakadaan atau karena tidak mengikuti pertemuan tersebut."

Denda dan pajak dibayar dalam uang kepeng, yang digunakan sesuai dengan keputusan bersama dan membiayai proyek, baik waktu maupun Uang Kepeng, dan sumbangan dari keduanya sesuai dengan yang sudah disetujui, atau dicatat untuk menyakinkan bahwa setiap orang membayar apa yang menjadi bagiannya sesuai dengan persetujuan. Ketika uang kepeng tidak digunakan lagi pada awal tahun 1970an, proyek komunitas yang secara kolektif dibiayai oleh kedua waktu dan mata uang nasional, seperti yang dilakukan sampai hari ini.

Tetapi, kekurangan alat pembayaran lokal yang diatur oleh mereka sendiri, pemerintah Banjar hari ini sangat terbatas dengan apa yang bisa mereka bawa ke luar. Jangkauan mereka sekarang terbatas hampir semata-mata hanya pada aktivitas kebudayaan dan agama, pada proyek pengembangan lokal yang kecil-kecilan di mana dana disumbang oleh anggota Banjar, sampai pada malam basar untuk penggalian dana dan untuk membantu pemerintah Indonesia pada tingkat lokal dalam melaksanakan program-programnya.

Pengelyaran kembali uang kepeng akan memperkuat kemandirian local dan dengan begitu meningkatkan kemampuan pemerintah lokal untuk melaksanakan program pengembangan lokal. Ini akan meningkatkan kualitas kehidupan, dan melindungi kebudayaan Bali.

Uang Kepeng dan Kebudayaan Bali dan Agama

Uang kepeng membantu pengembangan dalam bidang kesenian di Bali.  Dengan mata uang mereka sendiri, dan juga kemampuan kolektif mereka di Banjar untuk menentukan bagaimana sebaiknya dipakai, komunitas atau masyarakat bisa menjadikan adanya kelebihan uang kepeng dan mereka memilih untuk langsung menggunakannya dalam bidang kesenian, tanpa tergantung pada donor dari luar. Ini menimbulkan adanya seni budaya yang bermacam-macam dan sangat menarik, dengan perbedaan kebudayaan yang dapat dilihat dan spesialisasi di antara masyarakat.

Uang kepeng memainkan peranan yang sangat penting dalam kosmologi Bali dan pengertian keselarasan kosmis sebagai penengah yang menjaga keseimbangan diantara kekuatan yang berbeda di dalam agama dan masyarakat. Dengan alas an tersebut, uang kepeng mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara agama dan karya seni. Masyarakat Bali membuat persembahan buatan tangan yang indah kepada Tuhan, dan persembahan yang istimewa akan mengikut sertakan beberapa uang kepeng di dalamnya. Upacara untuk menandai selesainya sebuah bangunan, pemakaman, atau untuk pembersihan tempat, membutuhkan adanya uang kepeng yang dipersembahkan, dipendam atau dibakar untuk melepaskan intisari mereka.

Uang kepeng juga dipakai dalam pembuatan patung suci. Salah satu patung, yang disebut Rambut Sedana yang melambangkan kemurahan hati Tuhan, terbuat dari sampai 15.000 uang logam Cina. Ukur, sebaliknya, adalah patung kecil yang terbuat dari sedikitnya 108 uang logam, yang dibakar bersama dengan mayat di dalam upacara Ngaben.

Pada Desember 2003, Yayasan Bali Heritage Trust, sebuah yayasan yang berdedikasi atau bekerja kepada pelestarian dan memperkuat kebudayaan Bali, mengadakan konferensi mengenai “Preserving Uang Kepeng As A Medium of Religious Ceremony di Bali” atau Menyelamatkan uang kepeng sebagai media upacara religius di Bali. Meskipun perhatian utama konferensi adalah mengenai kekurangan uang kepeng sebagai medium upacara, banyak saran yang diajukan untuk penggunaan uang kepeng sebagai alat pembayaran. Dr Ida Bagus Sidemen, pengarang buku sejarah nilai uang kepeng, menunjukkan perlunya mempelajari dua penggunaan uang kepeng sebagai alat pembayaran dan medium upacara, berhubungan dengan nilai dari uang kepeng.

Kekawatiran dengan adanya produksi uang kepeng baru untuk upacara, penilaian uang kepeng secara lebih dalam, sebagai sesuatu yang mempunyai nilai nyata dan pentingnya bagi kehidupan manusia mungkin hilang. Kebanyakan orang setuju bahwa uang kepeng baru hampir tidak seberharga uang kepeng lama. Uang kepeng lama mempunyai nilai sejarah, tetapi bagaimana mungkin uang kepeng baru dinilai kembali?

Memberi nilai kembali terhadap uang kepeng perlu untuk sekali lagi  juga memberikan arti ekonomi bagi masyarakat, dengan mengeluarkan kembali uang kepeng sebagai media pertukaran lokal. Memproduksi uang kepeng untuk penggunaan lokal menambah nilainya, dan sebagai alat pembayaran persediaan akan lebih besar daripada jika hanya dibeli untuk membuat objek seni atau memenuhi penggunaan budaya. Disamping ini, menjamin bahwa produksi uang kepeng tetap di daerah lokal, dan tidak tergantung dengan sumber luar.

Dengan begitu pengeluaran kembali uang kepeng akan memperkuat keanekaragaman budaya dan vitalitas kehidupan di Bali dan meningkatkan pembiayaan untuk aktivitas kebudayaan dan seni lokal, dengan begitu membantu mempertahankan budaya. Ketika  masing-masing komunitas bisa membedakan diri sendiri dalam pengembangan budayanya, budaya Bali secara keseluruhan akan lebih beragam dan lebih hidup.

Uang Kepeng and Masyarakat Bali

Mengeluarkan kembali uang kepeng sebagai media pertukaran atau pembayaran lokal tidak akan tanpa suatu akibat di dunia hari ini. Alat pembayaran lokal cukup biasa di seluruh dunia, dan saat ini kira-kira 5.000 komunitas di lebih dari 30 negara mempunyai peredaran mata uang local mereka sendiri.

Satu dari alasan utama yang diberikan untuk mengeluarkan alat pembayaran lokal adalah membangun kembali komunitas, dan melindungi budaya dari pengaruh asing. Budaya menjadi semakin menurun atau rusak kalau anggota mereka berganti kepada ekonomi asing untuk mendapatkan penghasilan mereka, tanpa menginjakkan kaki mereka secara kukuh di kedua system ekonomi dengan kata lain masih menghargai dan menjalankan system perekonomian local, disamping mengikuti perekonomian asing. Penjajah, baik militer maupun ekonomi, sudah mempergunakan hal ini untuk memecah budaya dan membuat perekonomian mereka diikuti dan dijalankan oleh orang-orang jajahan mereka.

Atau proses yang terjadi lebih lambat, agar proses pergantian budaya tidak bisa dilihat atau dirasakan sampai sudah terlalu terlambat. Satu langkah pertama adalah akan mendukung adanya kecemburuan di antara masyarakat, dan orang Bali tentu tidak kebal dari hal ini. Sebenarnya, ada banyak cerita tentang orang Bali, yang lewat bakat, kecerdasan dan kerja keras sudah menjadi sangat kaya biarpun diukur dengan standar internasional. Hasil yang tidak diharapkan adalah bahwa orang lain menjadi cemburu pada mereka, dan lambat laun mereka menjauhinya, atau merasa dikucilkan oleh komunitas. Sekali hubungan di antara yang kaya dan yang miskin sudah terputus, budaya mulai memperlihatkan diri dalam penampakan kemewahan, dalam persaingan di antara orang dan komunitas untuk memperlihatkan yang paling bagus dari mereka, dan budaya yang nyata, yang pada hubungan antara orang dan kebiasaan hidup sehari-hari mereka, menjadi berhubungan dengan kemiskinan.

Dengan memberikan kekuatan kepada anggota komunitas yang paling miskin, mengeluarkan kembali uang kepeng membangun solidaritas komunitas, dan untuk mencegah kecemburuan dan persaingan yang ditunjukkan oleh orang yang sudah berpindah kepada perekonomian mata uang asing. Dengan begitu, penggunaan uang kepeng adalah menunjukkan bahwa orang tersebut adalah orang lokal, tiang dari komunitas. Baik kaya maupun miskin bisa aktif didalam kedua perekonomian.

Uang Kepeng dan Ekonomi Masyarakat Bali

Sistem penghitungan masyarakat Bali mempunyai hubungan secara langsung dengan uang kepeng. Kata untuk lima puluh, seket, datang dari se (satu) dan ikat (untuk mengikat sesuatu bersama). Ini berasal dari kata untuk dua puluh lima, selae, dengan begitu seket adalah dua ikat selae yang sudah terikat bersama. Kata untuk tujuh puluh lima, telung, bermaksud tiga ikat selae yang sudah terikat bersama. Oleh karena itu, uang kepeng berhubungan erat dengan konsep matematika dan ekonomi masyarakat Bali.

Menurut sejarah, ekonomi Bali dikuasai dan dikelola oleh wanita. Seperti yang ditulis Miguel Covarrubias dalam bukunya “The Island of Bali”, “wanita adalah penyandang dana yang menguasai pasar; sangat jarang ditemui laki-laki, kecuali dalam perdagangan tertentu atau untuk menolong membawa beban yang sangat berat seperti misalnya seekor babi yang gemuk. Bahkan penukar uangpun adalah seorang wanita, yang duduk di belakang meja kecil berisi dengan ikatan uang kecil, kepeng, uang logam kuningan Cina dengan lubang di tengahnya.”

Selanjutnya, dia menulis “untuk memudahkan penggunaan sampai kepada ratusan atau ribuan, mereka sudah mempunyai pengetahuan yang mengherankan dalam matematika atau penghitungan, dan wanita bisa menambahkan, mengurangi, mengalikan dan membagi secepat seperti dengan mesin penambahan.

Untuk menguji kemampuan ini kami meminta kepada wanita dalam rumah tangga kami untuk mengalikan nomor dari beberapa simbol; dengan cara yang tidak dimengerti -beberapa kepeng tersebar di pangkuan mereka-, mereka selalu menemukan hasil yang cepat dan tepat.”

Bali adalah masyarakat yang luar biasa demokratis. Wanita mengerjakan sawah bersama dengan laki-laki, dan juga tidak memakai baju kalau bekerja. Pada tahun 1930an, masih sangat biasa bagi wanita untuk berjalan berkeliling telanjang dada. Bahkan pada hari ini masih mudah untuk menemukan wanita tua yang menjalankan urusan sehari-hari mereka di jalan desa tanpa menutupi payudaranya. Sementara laki-laki diberi tugas yang melibatkan pemakaian tangan mereka, seperti menarik, mendorong atau menyeret, seperti berjuang dengan babi atau sapi yang meronta-ronta, wanita menerima tugas yang memakai kepala mereka, seperti membawa dan mengangkut beban sampai 50kg beras atau padi, atau 30 liter air di atas kepala mereka. Sementara laki-laki akan berjuang untuk membawa beban berat di punggung atau membawa beban dengan tangan mereka, mudah bagi seorang wanita untuk berjalan cepat dengan beban seperti itu di kepalanya, atau bahkan naik atau membonceng di belakang sepeda motor. Aktivitas seperti itu adalah apa yang dipercaya oleh banyak orang yang menjadi rahasia kecantikan wanita Bali, memberi mereka gerakan halus yang lemah-gemulai, sikap tenang, bentuk tubuh dan keseimbangan.

Keberadaan mata uang yang beragam, dan situasi keragaman jenis kelamin membimbing seorang penulis, Bernard Lietaer, kepada konsep sistem ekonomi Yin-Yang. “lebih filsafati pemimpin Banjar yang disegani, walaupun nyata-nyata Hindu, menggunakan perbendaharaan kata Taoisme sebagai tambahan untuk menggambarkan sistem mata uang ganda seperti yang ada dalam “hubungan Yin-Yang”. Salah satu mata uang ini - mata uang nasional Indonesia yang biasa – adalah dalam sudut pandang alami Yang, karena tidak bisa dihasilkan dari dalam komunitas tetapi harus didapat dengan persaingan di dalam dunia luar  atau diluar komunitas. Yang lain - ketika semua orang secara prinsip mempunyai warisan yang sama - adalah Yin karena dihasilkan di dalam komunitas, atas dasar demokrasi, dan menyebabkan timbulnya kebersamaan. Itu adalah juga sesuatu  yang anda tidak bisa mengumpulkan dan menyimpan seperti uang konvensional: memakainya atau kehilangannya”. Ringkasnya, mata uang Yang adalah persainga dan mengorientasikan laki-laki, dan mata uang Yin adalah kerjasama dan mengorientasikan perempuan.

Lietaer menulis, “bahasa barat tidak mempunyai kata yang menggambarkan konsep Yin-Yang, kerena itu kami akan harus menggunakan kata timur untuknya. Taoism menggambarkan semua hal mempunyai pasangan seperti bumi-surga, air-api, mengeluarkan napas menarik napas, mendorong-menarik, feminin-maskulin, dll. Walaupun nyata-nyata jelas memaksa, mereka benar-benar dilihat sebagai bagian dari persatuan tertinggi tunggal, dan oleh karena itu perlu bagi satu sama lain. Sedikit seperti magnet yang harus mempunyai kutub positif dan negatif  -juga sesuatu yang secara terpisah tidak bisa eksis (ada). Di dalam konteks yang special tentang uang dan komunitas dalam tulisan ini, maksud dari Yin-Yang adalah merujuk ke polaritas kerjasama-persaingan, demokrasi-hirarkis (tingkatan), kepercayaan yang saling menguntungkan-kekuasaan terpusat, feminin-maskulin, dll.”

Lietaer menyadari bahwa keberadaan mata uang Yin menganjurkan kelakuan Yin kepada orang lain. “contohnya, apabila seseorang mempunyai seorang anak yang sedang sakit yang menyita waktu, tak seorang pun akan keberatan jika dia tidak menyumbangnya bagian waktu yang sama sesuai dengan penjanjian [kepada Banjar]. Hal mana kebaikanlah yang mendasari sebuah tindakan. Satu yang bisa dilihat mengapa sistem mata uang ganda seperti itu dalam struktur yang demokratis seperti Banjar menyediakan lebih banyak keluwesan daripada kalau sesuatu dipaksa dengan hanya satu sistem mata uang seperti kasus di kebanyakan bagian lain dunia, termasuk di negara “berkembang” . Orang yang mempunyai banyak uang konvensional cenderung mempunyai sedikit waktu, dan orang dengan sedikit uang cenderung mempunyai lebih banyak waktu. Oleh sebab itu mekanisme mata uang ganda memungkinkan suatu perataan secara otomatis di antara kelas sosial.

Uang kepeng menganjurkan pertukaran dari barang-barang dan jasa yang dihasilkan secara lokal  untuk konsumsi lokal dengan menyediakan sesuatu yang bisa dipergunakan untuk pertukaran lokal, dan oleh karena adanya mata uang Yin-menyeimbangkan perekonomian pertanian, yang mendukung baik perekonomian pertanian maupun perempuan yang mengelolanya. Pendapatan pokok dari penyediaan produk pertanian ke pasar, uang kepeng memberi wanita peranan penting untuk berkegiatan di masyarakat.

Disamping pasar yang menyediakan tempat untuk membeli produk pertanian yang memakai uang kepeng, ekonomi lokal mendukung dan melindungi ekonomi pertanian dari kerugian karena fluktuasi pasar dan mata uang.

Dengan cara yang sama, uang kepeng melindungi masyarakat Bali dari pengaruh uang asing, baik melalui perdagangan atau kepariwisataan. Uang asing tidak mempengaruhi ekonomi atau kebiasaan orang lokal, dan orang bisa memilih untuk mengambil peranan dalam kedua perekonomian, mereka tidak mesti memilih salah satu di antara mereka

Membangun Kembali Vitalitas Kehidupan Budaya dalam Globalisasi Dunia

Degradasi kebudayaan lewat proses globalisasi ekonomi Yang sudah diketahui secara luas, baik pada masyarakat Barat maupun bukan masyarakat Barat. Sistem mata uang yang beragam dilihat sebagai satu cara untuk membangun kembali budaya di tingkat lokal. Dalam apa yang dinamakan negara “dunia ketiga” di mana sistem pertukaran tradisional sudah menurun atau terhapuskan, sistem pertukaran bersama Yin yang baru sedang didirikan lagi. Di kebanyakan masyarakat lain, sistem ekonomi tradisional tetap kuat tetapi memerlukan pengakuan dan bantuan untuk mencegah degradasi oleh sistem ekonomi asing.

Sekarang ada kesempatan untuk mengenali, penelitian dan bantuan sistem ekonomi tradisional ini sebelum mereka, dan budaya yang mereka dukung binasa, tetapi tampak bahwa gelombang atau sesuatu yang tumbuh melawan mereka. Antropolog hari ini rupanya hanya belajar sistem ekonomi tradisional yang sudah mati, sangat sedikit penelitian yang tersedia di internet tentang sistem ekonomi tradisional yang masih hidup sampai saat ini, dan dalam banyak kasus masih kuat (semua penelitian yang tersedia dalam format elektronik tentang system ekonomi tradisional bisa ditemukan di http://www.appropriate-economics.org.  sebelum lupa, website ini menjadi website yang berada paling atas di google.com untuk kata kunci pencarian “traditional economy”). Hal yang sama untuk penelitian sistem ekonomi masyarakat matrifocal (terfokus pada perempuan). Ini mengingatkan bahwa ada sedikit dukungan yang tersedia kepada siapa saja yang menginginkan untuk membangun kembali atau memperkuat vitalitas budaya mereka melalui sistem pertukaran yang beragam.

Sistem mata uang Yin yang beragam dalam penggunaannya di dunia barat hari ini mempunyai akar dalam sistem ekonomi kuno dan tradisional. Konsep penyediaan uang yang terbuka, pinjaman tanpa bunga, perdagangan atau pertukaran yang saling menguntungkan, dan bunga negatif, diberi label oleh pakar ekonomi sebagai ‘demurrage’, yang semua unsurnya ditemukan di hampir semua sistem ekonomi tradisional yang demokratis. Tetapi, nampak bahwa banyak pakar ekonomi Barat menganggap sistem ekonomi tradisional ini menjadi baik menurut sejarah tidak tersambung atau tidak relevan dengan teori ekonomi modern.

Cara ketiga, diantara pengenalan sistem ekonomi kerjasama yang modern, dan menopang sistem ekonomi tradisional dengan persoalan budaya negatif yang mungkin diberikan kepada mereka, adalah untuk belajar dari sistem ekonomi tradisional ini dan memasukkan elemen yang tepat guna ke dalam bentuk variasi yang modern dari sistem tradisional. Daripada memaksakan sistem ekonomi asing dengan menyertakannya ke dalam rasa kepemilikan social dan budaya dalam komunitas tradisional, apakah tidak akan lebih baik untuk memusatkan dan memperkuat sistem ekonomi tradisional yang secara erat berhubungan dengan masyarakat dan budaya di mana masyarakat hidup?

Selanjutnya, daripada berbicara tentang keperluan untuk melaksanakan sistem kemandirian lokal yang digambarkan dari model asing untuk membantu orang yang terkena dampak oleh kecenderungan penurunan ekonomi yang diakibatkan oleh rentetan kemalangan yang baru saja melanda Asia pada umumnya dan Bali pada khususnya, kami kembali kepada pertanyaan awal kami: apakah tidak lebih baik berbicara tentang sistem kemandirian yang masyarakat Bali sudah sangat akrab dengannya tetapi hanya beberapa waktu yang lalu tidak digunakan lagi?

Memberi nilai lagi terhadap uang kepeng sebagai Media pertukaran Lokal

Sementara uang kepeng sudah tidak digunakan lagi sebagai media pertukaran/pembayaran dan permintaan ekspor benda seni yang terbuat dari uang kepeng logam meningkat, persediaan uang kepeng semakin habis. Yayasan Bali Heritage Trust mengadakan konferensi untuk mendiskusikan pembuatan uang kepeng baru yang sesuai dengan aturan tradisional. Sampai pada waktu ini, pemimpin agama masih belum puas atas kualitas dari bahan material yang dipakai dan metode produksi yang tidak memasukkan unsur agama. Konsumen perseorangan, di pihak lain, berpikir bahwa uang kepeng baru itu palsu dan oleh karena itu tidak berguna, uang kepeng baru sama sekali belum seberharga uang kepeng lama.

Kekawatirannya ialah bahwa dengan memproduksi uang kepeng baru untuk upacara, penilaian uang kepeng yang lebih mendalam sebagai sesuatu yang mempunyai nilai nyata dan pentingnya dalam kehidupan manusia mungkin hilang. Uang kepeng lama membawa nilai sejarah, mirip menilai barang antik. Bagaimana bisa uang kepeng baru dinilai kembali sehingga mengandung nilai yang sama seperti uang kepeng lama?

Memberi nilai kembalai uang kepeng sebagai media budaya memerlukan pemberian arti ekonomi kepada masyarakat lagi, dengan mengeluarkannya sebagai mediua pertukaran atau pembayaran lokal. Lebih jauh, pengeluaran kembali uang kepeng sebagai alat pembayaran adalah pokok untuk penilaian budaya. Itu lebih bernilai karena mempunyai nilai ekonomi, dan orang tahu bahwa mereka harus menyediakan sesuatu untuk orang lain untuk mendapatkannya. Itu merupakan tanda dari sosial dan budaya yang kuat. Pengeluaran kembali uang kepeng memberikan orang tanggung jawab untuk mempertahankan nilai dari uang kepeng tersebut untk perekonomian sebaik seperti digunakan untuk sarana budaya, dan dengan tanggung jawab terhadap nilai mendatang. Jika orang bertanggung jawab atas uang kepeng, mereka akan menghargainya. Uang kepeng baru akan mempunyai nilai yang lebih tinggi baik secara kultural/budaya maupun ekonomi.

Uang kepeng perlu dicetak lagi, baik karena persediaannya kurang, juga karena uang logam yang baru dicetak berkualitas lebih rendah dan tidak diproduksi menurut proses tradisional dengan seijin pemimpin budaya dan pemimpin agama. Uang kepeng yang diperuntukkan dan dipakai sebagai alat pembayaran harus berkualitas baik untuk menjamin bisa digunakan dalam waktu yang lama, dan juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang diminta budaya/agama dalan hal berat, ukuran, bentuk dan susunan logam.

Dari sini, tiga persoalan utama niscaya akan muncul. Persoalan pertama ialah, apakah alat pembayaran lokal ini akan berpengaruh negatif atas ekonomi lokal, seperti menyebabkan inflasi harga lokal? Yang kedua, apakah ini akan menjadi ilegal ditinjau dari undang-undang Indonesia? Ketiga, bagaimana dengan kemungkinan adanya produksi uang kepeng yang dipalsukan?

Jawaban untuk persoalan pertama tentang kemungkinan efek yang terjadi atas ekonomi lokal, mata uang lokal mengisi ceruk dalam ekonomi pertanian di mana mata uang nasional tidak cukup persediaan untuk memudahkan pertukaran. Oleh karena itu sepanjang persediaan uang kepeng dipakai untuk memudahkan pertukaran yang hanya mengisi kekurangan mata uang nasional, tidak akan menyebabkan inflasi. Seperti diceritakan sebelumnya, kira-kira 5.000 komunitas di seluruh dunia mengeluarkan media mereka sendiri untuk pertukaran atau pembayaran lokal yang tidak berpengaruh negatif atas ekonomi.

Pada kenyataannya, penelitian menunjukkan bahwa efeknya sangat bermanfaat sekali, ketika ekonomi lokal sehat menyumbang kepada kesehatan ekonomi daerah dan nasional.

Memandang persoalan kedua tentang keabsahan di bawah undang-undang Indonesia, penelitian terhadap undang-undang keuangan dan perbankan menunjukkan bahwa mata uang lain mungkin ada di samping, untuk melengkapi, mata uang nasional sepanjang mereka tidak menentang undang-undang dan memalsukan dengan mencoba menyerupai mata uang nasional, dan tidak secara aktif mencoba mengganti atau meremehkan fungsi mata uang nasional. Sebenarnya, sehelai kupon adalah bentuk uang, begitu juga sehelai kartu kredit, sehelai kupon, token, atau promes.

Menanggapi masalah yang ketiga tentang kemungkinan pemalsuan uang kepeng, sepertinya tidak mungkin karena keuntungan yang didapat dari memalsukan akan lebih rendah dari biaya untuk memproduksi uang logam. Uang kepeng akan digunakan di pasar yang sangat local dengan kata lain hanya berlaku di area yang sangat kecil, mungkin perlu distempel dengan nama banjar yang mengeluarkannya, dan hanya dapat ditukar dengan barang-barang dan jasa yang dihasilkan ditingkat lokal.

Jika jawaban ini memuaskan, kami melanjutkan dengan memberikan tiga model untuk pengeluaran uang kepeng baru sebagai alat pembayaran: pengeluaran sebagai mata uang pribadi, pengeluaran sebagai mata uang Banjar, dan pengeluaran melalui Village Credit Unit (Lembaga Perkreditan Desa).

Pengeluaran sebagai Mata Uang Pribadi

Marilah kita asumsikan bahwa kelompok komunitas memutuskan untuk mengeluarkan uang kepeng lewat anggotanya. Dana dalam bentuk mata uang nasional (Rupiah) dikumpulkan dari anggota untuk pembelian atau pembuatan uang kepeng. Mereka menentukan susunan logam yang digunakan dan bentuk uang logam yang mana harus dibedakan dari macam uang kepeng lainnya, jumlah yang di produksi, dan nilainya jika dibandingkan atau dinilai dengan mata uang nasional.

Organisasi membuat badan untuk pengaturan dan pengelolaan uang kepeng, yang membolehkan masing-masing anggota untuk membuka rekening.   Masing-masing anggota boleh menarik uang kepeng dari badan pengelola, mirip kredit biasa / rekening tabungan. Anggota membelanjakan uang kepeng di antara satu sama lain untuk pembelian lokal, mengurangi mengalirnya mata uang nasional ke luar komunitas.

Sistem yang mengeluarkan alat pembayaran local ini sangat biasa di seluruh dunia, hari ini diperkirakan sebanyak 5.000 komunitas di lebih dari 30 negara mengeluarkan mata uang lokal dengan cara seperti itu. Pakar ekonomi barat menyebut ini sebagai system “Mutual Credit” untuk pengeluaran pembayaran oleh peserta sendiri yang menarik kembali uang mereka dari rekening mereka sendiri. Sehingga ini dianggap menjadi uang pribadi dalam sistem uang kolektif, hanya ditarik biaya administrasi dan tanpa bunga.

Pengeluaran sebagai Mata Uang Banjar

Dalam kasus ini, Banjar memutuskan mengeluarkan uang kepeng untuk menganjurkan dan mendukung aktivitas budaya lokal dan pertukaran di komunitas. Anggota Banjar mengumpulkan dana yang diperlukan untuk memesan uang kepeng, dan menentukan susunan logam uang kepeng, bentuk uang logam, jumlah produksi, dan penilaian. Di dalam pertemuan Banjar, proyek ditentukan oleh para anggota, sesuai dengan anggaran dalam mata uang nasional, waktu dan uang kepeng sesuai yang telah dilakukan menurut sejarah.

Uang kepeng dibayarkan kepada yang menyetujui menerimanya, barangkali sebagai neraca atau bayaran karena memberi sumbangan yang luar biasa kepada proyek daripada seperti yang telah disetujui ketika proyek dianggarkan.

Siapa yang menerima uang kepeng kemudian bisa membelanjakannya di dalam lingkungan Banjar, dan Banjar bisa menenira kembali uang kepeng dengan bersedia menerima sebagai pembayaran dalam mata uang ini. sepanjang penerimaan pendapatan dalam uang kepeng sesuai dengan pengeluaran, sistem ini bisa diteruskan untuk jangka waktu tidak terbatas, dan efeknya menjadi mikrokosmos dalam perekonomian nasional.

Seperti metode pengeluaran uang kepeng sebagai mata uang pribadi, pembukuan uang kepeng relatif sederhana dan mudah, akuntan hanya perlu mencatat pendapatan dan pengeluaran dalam uang kepeng, dan terdapat sejarah panjang tentang prioritas dari kemampuan akuntan Banjar untuk mengelolanya. Dalam istilah keuangan Barat, mata uang dikeluarkan sebagai “tax anticipation warrant” atau pajak antisipasi jaminan. Contoh metode ini bisa ditemukan di Kepulauan Inggris yaitu di Jersey dan Guernsey.

Pengeluaran melalui Lembaga Perkreditan Desa (LPD)

Lembaga Perkreditan Desa atau LPD ditemukan di semua desa di Bali. Dengan dukungan dari Banjar, Lembaga Perkreditan Desa atau LPD menyediakan jasa akutansi untuk pengelolaan uang kepeng, pengeluaran mata uang melalui pinjaman kepada anggota LPD.

Banjar menentukan susunan, pola, jumlah yang diproduksi, dan penilaian mata uang.

Pinjaman standar dalam uang kepeng dibuat kepada masing-masing anggota LPD, sebagai jumlah yang sama kepada masing-masing anggota. Pinjaman diharuskan dikembalikan dalam waktu tertentu, tanpa bunga. Tetapi, berdasarkan pada  pengawasan perputaran dan dampak dari uang kepeng terhadap perekonomian local, baik sebagai pinjaman yang dibayar kembalim, atau pinjaman selanjutnya yang diberikan kepada anggota. Mekanisme ini membolehkan LPD mengontrol persediaan uang kepeng untuk mencegah inflasi nilai yang ada dalam uang kepeng, dan juga untuk mencegah devaluasi dalam komunitas.

Metode pengeluaran ini mirip sistem perbankan yang biasa, kecuali itu keruwetan suku bunga sudah dihilangkan, membuat akuntansi sangat sederhana untuk pengelolaannya.

Secara alternatif, uang kepeng bisa dikeluarkan sebagai sehelai kupon di mana siapa saja bisa membelinya dengan mata uang nasional. Konversi ini bisa diperpanjang, agar uang kepeng bisa diubah lewat penukaran uang lokal, sebanyak yang sudah dilakukan selama  periode 50 tahun sebagai keragaman mata uang.

Kesimpulan

Dalam artikel ini, kami menyajikan sejarah dari uang kepeng, peranan pentingnya dalam Banjar dan kekuatan /kekuasaan tradisional, dalam mendukung kehidupan seni dan budaya Bali, dalam memenuhi kewajiban agama, sebagai cara menjamin solidaritas sosial dan bagi masyarakat Bali untuk memenuhi kebutuhan mereka dan di membangkitkan kaum perempuan.

Kami mengusulkan perlunya untuk mencetak uang uang kepeng baru yang memenuhi nilai baik sesuai dengan syarat-syarat budaya maupun ekonomi, sebagai alat untuk membangun kembali ekonomi lokal dari bencana yang melanda akhir-akhir ini, sementara menguatkan nilainya untuk kegunaan budaya dan agama. Kami menunjukkan kemungkinan pengeluaran uang kepeng dengan selamat dan sah, dan menyajikan tiga metode yang berbeda tentang cara pengeluaran.

Uang Kepeng secara mendalam berakar di sejarah Bali, budaya, masyarakat, bahasa, kekuasaan dan ekonomi.  Tetapi bagaimanapun mata uang tradisional, untuk sungguh bernilai, harus dinilai secara pribadi sebagai alat pertukaran.  Ini meletakkan dasar untuk memberi nilai (menghargai) kembali uang kepeng sebagai media budaya Bali, sebuah alat untuk menjamin vitalitas kehidupan budaya Bali di era globalisasi dunia.

Daftar Pustaka

Covarrubias, M. (1937) Island of Bali, Edisi pertama, Knopff, New York ; dipublikasikan kembali pada 1998 oleh Periplus, Singapore.

Kat Angelino, Arnold Dirk Adriaan de.  Staatkundig beleid en bestuurszorg in Nederlandsch-Indie. 's-Gravenhage: Nijhoff, 1929-1930.

DeMeulenaere, S. & Lietaer, B. (2003)  Sustaining Cultural Vitality in a Globalizing World: The Balinese Example.  International Journal of Social Economics, Vol. 30 No. 9. http://www.strohalm.org/materials/sustaining_cultural_vitality_in_a_globalizing_world.pdf

DeMeulenaere, S., Week, D. & Stevenson, I. (2002), The Standardisation and Mobilisation of the Tabu Traditional Shell Currency, East New Britain Provincial Government, Papua New Guinea.

Eiseman, F. B. (1990) Bali Sekala & Niskala: Essays on Society, Tradition and Craft. Volume II, Periplus Editions Inc, Berkeley.

Elegant R. (1987) “Seeking the Spirit of Bali: Despite Fast Food and Discos, the Old Ways Live”, The New York Times, March 8, 1987, Travel Section, pg 9.

Geertz, C. (1959), “Form and variation in Balinese Village Structure” American Anthropologist, Vol 61.

McPhee, C. (1944) A House in Bali,  Periplus, Hong Kong.

Mead, M. (1977) Letters from the field 1925-1977, Harper & Row, New York.

Rosser, B. and Rosser, M. (1999), The New Traditional Economy: A New Perspective for Comparative Economics?, International Journal of Social Economics vol. 26, no. 6.

Sidemen, Ida Bagus.  (2002) Nilai Historis Uang Kepeng (Historical Value of Uang Kepeng).  Denpasar, Bali: Larasan-Sejarah.

Verhelst, T.  (1996) Economic organisations and local cultures: explorations into the cultural enbeddedness of local economic life. Réseau Culture.

http://www.appropriate-economics.org/\materials/economic_organizations_and_local cultures.html

Warren, C. (1993), Adat and Dinas: Balinese Communities in the Indonesian State, Oxford University Press, Kuala Lumpur.