Sistem Alat Tukar (Mata Uang) Masyarakat di Indonesia:
Masalah dan Prospeknya

Revrisond Baswir, 2001
Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Direktur Insitut Pengembangan dan Analisis Ekonomi Indonesia

Diterjemahan Oleh Agung Edi Dahono
agung@complementarycurrency.org

Sistem Alat Tukar (mata uang) masyarakat – Community Currency Sistem (CSS) berarti sebuah sistem alat tukar (mata uang) yang dikembangkan secara mandiri oleh sekelompok orang dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan para anggota kelompok itu dalam penggunaan alat tukar (mata uang) nasional dalam melakukan transaksi.

Berdasarkan definisi di atas, CCS mungkin kelihatan seperti sistem mata uang yang akan bersaing dengan sistem mata uang nasional. Kesan seperti ini tentu saja jauh dari benar.

Sebagai sistem mata uang yang hanya bisa digunakan di antara kelompok yang menggunakannya (intern), CCS tidak bermaksud untuk menggantikan sistem mata uang nasional.

Hubungan dengan sistem mata uang nasional mungkin lebih tepat untuk dikategorikan sebagai hubungan yang saling melengkapi. Artinya mata uang nasional masih tetap digunakan oleh anggota kelompok itu, terutama untuk transaksi ke luar. CCS berfungsi sebagai alat untuk menambah kesempatan penggunanya untuk terlibat dalam transaksi keuangan yang tidak terlalu mengandalkan atau bergantung pada ketersediaan uang nasional.

Tetapi, sebagai sistem pelengkap mata uang nasional, itu bukan berarti CCS mempunyai karakteristik atau ciri yang sama dengan sistem mata uang nasional. Sebagai sistem alat tukar (mata uang) yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kemampuan transaksi keuangan di antara para anggota kelompok, CCS mempunyai suatu sifat yang secara jelas mempunyai perbedaan dengan sistem mata uang nasional.

Pertama , alat tukar (mata uang) dalam CCS dianggap sebagai komoditas umum. Sebagai komoditas umum, pengguna CCS mempunyai kewajiban untuk menyumbang suatu nilai (jumlah) dari pendapatan mereka untuk kelompok sebagai bayaran untuk keuntungan yang disediakan (diakibatkan) oleh CCS.

Kedua, fungsi CCS dibatasi sebagai alat ukur dan alat tukar. Dengan kedua fungsi tersebut, fungsi uang sebagai alat untuk menyimpan nilai, sebagai alat spekulatif untuk mendapat keuntungan, dan sebagai alat kekuasaan, seperti yang terdapat di sistem mata uang nasional, tidak akan ada dalam CCS.

Ketiga, sesuai dengan sifat yang pertama dan kedua, pembayaran bunga menjadi sifat pokok sistem mata uang nasional, yang sepenuhnya tidak diperbolehkan dalam CCS. Pelarangan bunga di CCS ini berdasarkan pada nilai moral yang kuat diantara para anggota kelompok. Di CCS, itu adalah larangan pokok untuk menjaga kelangsungan transaksi keuangan di antara anggota kelompok.

Berdasarkan definisi, sifat dan fungsi CCS, keberhasilan CCS dalam kelompok, terutama bergantung pada kemampuan sistemnya untuk mencapai faktor kunci keberhasilannya.

Seperti dikatakan oleh Powell dan Salverda, faktor keberhasilan pokok CCS termasuk:

Pertama, manusia, yang terdiri dari Pelopor, Administrator, dan Peserta.

Pelopor, administrator, dan peserta sangat penting untuk keberhasilan CCS. Pelopor adalah orang-orang yang mendirikan atau membangun dasar CCS. Administrator adalah kelompok orang yang melaksanakan dan mengembangkan CCS. Sementara peserta adalah sekelompok orang yang komit untuk berpartisipasi di CCS.

Kedua, komunitas. CCS hanya bisa berhasil dikembangkan di antara sekelompok orang yang mempunyai hubungan sosial yang kuat. CCS akan menjadi lebih berhasil jika komunitas pesertanya mempunyai latar belakang kelompok yang maju (progresif).

Ketiga, responsif terhadap kebutuhan nyata masyarakat. CCS harus responsif terhadap kebutuhan nyata yang ada di masyarakat. Semakin responsif CCS terhadap kebutuhan nyata masyarakat, akan semakin tinggi komitmen dari para anggota untuk berpartisipasi di CCS.

Setelah mengerti beberapa factor yang menjadi kunci sukses CCS, yang menjadi pertanyaan adalah, apa masalahnya dan bagaimana prospek CCS di Indonesia? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, di bawah ini gambaran umum tentang ekonomi Indonesia dewasa ini.

Ekonomi Indonesia

Sebagai mana sudah diketahui secara luas, ekonomi Indonesia adalah yang paling parah terkena serangan krisis keuangan yang melanda Asia. Secara umum, itu bisa diketahui dari beberapa indikasi berikut.

Pertama, sebelum krisis, nilai mata uang Indonesia rupiah dibandingkan dengan dollar Amerika adalah Rp. 2.500. karena dampak krisis tersebut, nilai rupiah menurun drastis menjadi Rp. 10.000, atau mengalami deprisiasi sebesar 75 persen. Pada puncak dari krisis bulan Mei 1998, nilai rupiah dibandingkan dengan dollar Amerika mengalami penurunan paling rendah yaitu Rp.16.000.

Kedua, ditambah dengan terlikuidasinya beberapa bank, dampak dari kegawatan yang sangat serius adalah keterlibatan International Monetary Fund (IMF) yang berperan sebagai seorang dokter medis untuk mengobati perekonomian Indonesia. Tidak seperti dengan Thailand dan Korea Selatan yang mengakhiri kontrak mereka dengan IMF sebelum krisis itu melanda sampai berakhir, Indonesia meminta hal yang berlawanan.  Pemerintah Indonesia justru memperpanjang kontrak dengan IMF menjelang akhir tahun lalu.

Ketiga, kebijakan yang disarankan oleh IMF di awal krisis adalah pengeluaran surat obligasi pemerintah, yang dimaksudkan untuk merekapitalisasi bank, dan untuk menjamin tabungan masyarakat. Tujuan kebijakan ini adalah untuk menambah kepercayaan masyarakat di bidang perbankan Indonesia. Sebagai akibatnya, disamping mempunyai utang asing yang sangat besar (USD 72 milyar), Indonesia juga jatuh ke dalam utang dalam negeri yang sangat besar (USD 65 milyar).

Dampak yang sangat serius dari krisis itu sudah dialami Indonesia selama lima tahun terakhir ini, adalah pemerintah Indonesia kesulitan untuk melaksanaan program dari IMF ini. Kesulitan dalam melaksanakan program-program IMF ini dapat terlihat dari beberapa kebijakan berikut:

Pertama, bank sentral membuat kebijakan uang ketat. Kebijakan ini bisa dilihat dari  kenaikan suku bunga untuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan pada pengurangan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat. SBI, yang sebelumnya mempunyai suku bunga 11 persen, sekarang ditetapkan menjadi 17 persen. Peredaran uang di masyarakat pada sekarang ini dari sekitar Rp.130 trilyun berkurang menjadi Rp.110 trilyun.

Dampak yang lebih jauh dari suku bunga SBI dan penurunan jumlah peredaran uang, dewasa ini Bank-bank di Indonesia lebih suka untuk tidak jadi melakukan tugas pokoknya sebagai lembaga perantara keuangan. Sekarang mereka cukup gembira dengan penghasilan bunga yang mereka peroleh dari deposito mereka dalam SBI. Itu hanya sekitar Rp.230 trilyun dari Rp. 450 trilyun tabungan masyarakat, yang disebarkan sebagai kredit (hutang). Akibatnya, dewasa ini, sektor-sektor nyata di Indonesia menghadapi masalah serius dalam membiayai aktivitas perusahaannya.

Kedua, penurunan terus-menerus yang terdapat dalam defisit anggaran negara di tahun 2000, perbandingan antara defisit anggaran negara dengan pendapatan nasional bruto (Gross Domestic Product-GDP) masih di sekitar 5 persen. Dalam dua tahun terakhir ini, jumlah defisit ialah terkurangi menjadi 3,5 persen (2001) dan 2,5 persen (2002). Berdasar rencana pemerintah, Indonesia akan mencapai situasi perimbangan anggarar atau nol defisit pada tahun 2004.

Beberapa kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan itu adalah meningkatkan pendapatan dari perpajakan, penurunan subsidi, dan penurunan pengeluaran di bidang pembangunan. Masalahnya ialah, karena pemerintah berada pada posisi di bawah beban utang yang sangat besar, hampir 26 persen dari pengeluaran pemerintah dewasa ini dipakai untuk membayar bunga pinjaman. Sebagai akibatnya, banyak anggaran yang seharusnya untuk pengeluaran pembangunan, terus-menerus berkurang. Dua tahun terakhir ini, banyaknya pengeluaran pembangunan Indonesia hanya sekitar 3,1 persen dan 2,8 persen dari GDP.

Di atas semua itu, kesulitan dalam pelaksanaan program IMF terlihat  jelas dalam dampak yang sangat serius terhadap masyarakat. Tetapi bagaimanapun, jika kita melihat lebih ke dalam, dampak di tingkat kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, tidaklah seserius  yang dibayangkan. Hal  ini dikarenakan terutama karena adanya hubungan yang sangat dekat dengan beberapa sifat struktural pada perekonomian Indonesia sebagai berikut:

Pertama, perekonomian Indonesia adalah perekonomian yang sangat sentralistik (terpusat). Ini bukan saja terjadi di sektor umum (public sector), tetapi juga di sektor pribadi (private sector). Di dalam sektor umum, hampir 95 persen dari pendapatan pemerintah dikumpulkan oleh pemerintah pusat, sedangkan di bidang pengeluaran, hampir 75 persen dari pengeluaran pemerintah yang digunakan secara langsung oleh pemerintah pusat. Di sektor usaha, hampir 85 persen dari kredit diedarkan di Jakarta.  Sebagai akibatnya, di tingkat nasional hampir 85 persen dari peredaran uang beredar di Jakarta.

Kedua, dasar dari perekonopmian Indonesia sangatlah kecil. GDP Indonesian pada tahun 2000 hanya sebesar USD130 milyar. Berarti, penghasilan rata-rata orang Indonesia hanya sekitar USD650 setiap tahun. Dengan jumlah pendapatan per kapita seperti itu, sebagian besar orang Indonesia pada dasarnya masih hidup dengan standar hidup yang sangat rendah.

Ketiga, berkaitan dengan dua hal di atas, perekonomian pada dasarnya dikuasai oleh sektor informal. Hampir 70 persen dari angkatan kerja Indonesia terpaksa harus bekerja di sektor informal. Jumlah dari kegiatan usaha yang bisa digolongkan kedalam usaha kecil dan menengah hampir 99 persen dari semua kegiatan usaha.

Masalah dan Kesempatan

Berdasarkan pengamatan di atas, cukup jelas bahwa pada dasarnya CCS mempunyai prospek bagus sekali di Indonesia. Krisis yang sekarang ini masih terus menerus melanda di Indonesia, dan kesulitan pada pelaksanaan program IMF oleh pemerintah adalah lingkungan yang sangat kondusif untuk pengembangan CCS.

Tetapi bagaimanapun, sebelum menghitung kesempatan CCS di Indonesia, di bawah ini ada beberapa masalah yang harus menjadi pertimbangan dengan serius sebelum mengembangkan CCS di Indonesia. Beberapa masalah yang harus dihadapi dengan serius oleh CCS di Indonesia adalah sebagai berikut:

Pertama, sebagai sistem alat tukar (mata uang), CCS tidak mempunyai landasan hukum di Indonesia. Di terangkan di pasal 23 ayat 3 undang-undang dasar nasional, sangat jelas disebutkan bahwa “tipe dan nilai uang diambil berdasarkan keputusan di atas hukum”.

Sedangkan dalam undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Sentral Indonesian, disebutkan bahwa “setiap aktivitas yang melibatkan penggunaan uang atau mempunyai tujuan pertukaran atau pembayaran yang harus menggunakan uang dan terjadi dalam batas geografis Republik Indonesia harus menggunakan uang rupiah, terkecuali jika hanya digunakan pada kondisi yang berlainan dengan regulasi atau peraturan Bank Sentral Indonesia”. Artinya bahwa pelaksanaan dari CCS di Indonesia harus dimulai dengan mempublikasikan peraturan Bank Sentral Indonesia yang bisa dipakai sebagai landasan hukum untuk CCS.

Kedua, sebagai sistem alat tukar (mata uang), kerangka kelembagaan CCS juga tidak mempunyai landasan hukum di Indonesia. Seperti kita sadari, CCS ialah organisasi secara koperatif. Masalahnya adalah, dalam undang-undang No. 25/1992 tentang koperasi Indonesia, tidak ada pasal yang bisa dipakai untuk landasan hukum untuk pendirian koperasi sistem alat tukar (mata uang). Dengan kata lain, ditambah dengan tidak adanya landasan hukum sebagai sistem alat tukar (mata uang) alternatif, perkembangan CCS juga mempunyai masalah yang cukup serius dipandang dari peraturan kelembagaannya.

Ketiga, CCS tidak diketahui secara luas di Indonesia. Satu-satunya program CCS yang saya pernah tahu adalah yang diperkenalkan oleh YAPPIKA  bekerjasama dengan USC dan CUSO. Karena tidak adanya landasan hukum yang kuat untuk mengenalkan tentang CCS di Indonesia, YAPPIKA mesti bekerja dengan diam-diam. Ini tentu saja menjadi masalah yang sangat serius untuk mempopulerkan CCS di Indonesia.

Dari tiga masalah itu, pada dasarnya CCS mempunyai potensi yang sangat bagus untuk dikembangkan di Indonesia. Hal-hal berikut adalah beberapa kesempatan yang bisa dipertimbangkan untuk memperkuat pengembangan CCS di masa mendatang.

Pertama, adanya landasan yang kuat dalam undang-undang dasar nasional tentang demokrasi ekonomi dan koperasi. Seperti dijelaskan pada pasal 33, tentang asas demokrasi ekonomi di pasal 33, produksi dilakukan oleh semua, bagi semua, di bawah kontrol atau pengawasan anggota masyarakat. Yang paling penting adalah kekayaan masyarakat, bukan kekayaan individu. Itu ialah mengapa, ekonomi harus diatur sebagai usaha bersama berdasarkan asas persaudaraan. Lembaga usaha yang cocok dipakai untuk itu adalah koperasi.

Kedua, ada juga landasan yang sangat kuat dalam GBHN, yang mengharuskan pemerintah untuk melaksanakan sistem demokrasi ekonomi (Sistem Ekonomi kerakyatan atau SEK). Seperti yang diterangkan oleh Basir (2001), tujuan pokok SEK ialah:

ketersediaan kesempatan kerja untuk semua anggota masyarakat (pasal 27) undang-undang dasar jaminan hukum (hak) bahwa setiap anggota masyarakat bebas mengikuti perkumpulan untuk meningkatkan perekonomiannya, berkumpul, dan kebebasan berbicara (pasal 28)

ketersediaan lembaga kependidikan yang sesuai dan dapat tercapai bagi setiap anggota masyarakat yang memerlukannya (pasal 31) distribusi modal yang merata di antara anggota masyarakat (pasal 33), and ketersediaan program jaring pengaman sosial bagi setiap anggota masyarakat, khususnya untuk yang paling miskin dan anak terlantar (yatim piatu) (pasal 34).

Ketiga, krisis ekonomi Indonesia dan kesulitan pelaksanaan program IMF yang, antara lain, membuat situasi kekurangan likuiditas dalam masyarakat, akan menjadi lingkungan yang sangat kondusif untuk pengembangan CCS di Indonesia. Pengenalan CCS akan meningkatkan kegiatan-kegiatan ekonomi tanpa harus mengakibatan inflasi. Selain itu, dalam waktu yang bersamaan Indonesia juga menghadapi masalah pengangguran dan kemiskinan yang sangat sangat besar. Diperkenalkannya CCS akan mempunyai sumbangan yang besar dalam memecahkan masalah-masalah tersebut.

Disamping masalah dan kesempatan di atas, pasti ada masalah dan kesempatan lainnya yang harus diperhatikan secara serius. Bagaimanapun, karena adanya masalah hukum, maka masalah hukum ini harus diperhatikan pertama kali secara serius sebelum melangkah maju untuk mempopulerkan CCS di Indonesia.

Kesimpulan

Kesimpulannya, CCS adalah usaha yang sangat strategis untuk membantu menyediakan sistem alat tukar (mata uang) alternatif untuk masyarakat. Karena berdasarkan pada penggunaan uang hanya sebagai alat ukur dan sebagai alat tukar, CCS bisa menjadi solusi (jalan keluar) yang paling menyeluruh (tepat) bagi para partisipan (masyarakat pendukung) untuk menghadapi banyak kelemahan yang ada pada sistem pertukaran nasional ataupun internasional.

Selain itu, sejak secara kelembagaan CCS dilaksanakan lewat penggunaan asas-asas demokrasi ekonomi, keuntungan CCS bisa lebih dari sekedar sistem alat tukar (mata uang). CCS harus dipertimbangkan sebagai agenda strategis untuk pengembangan sistem demokrasi ekonomi (SEK) di Indonesia. Sistem ekonomi kapitalis yang dominan harus dihilangkan untuk berkelanjutannya peradaban manusia di planet ini.

Daftar Referensi

Baswir, Revrisond, Penjarahan Jakarta dan Undang-undang No.25/1999, Wacana, No. 5 Volume 11, 200

“Sistem Ekonomi Kerakyatan”, makalah yang dipresentasikan di Seminar Nasional untuk Sistem Ekonomi Kerakyatan, 11 September 2001, Kantor Menteri Ekonomi dan Koperasi, Jakarta

Blain, Robert. The Hour is the World Money Unit, dar http://www.ithacahours.com/

Cohen-Mitchel, Tim, Community Currency at A Crossroads: new Way Forward, from http://www.newvillage.net/

Kay, Richard, LETS and The Foundations Of New Money sistem, from http://www.gmlets.u-net.com/

Lietaer, Bernard A, Community currency A New Tool for the Twenty-first Century, from http://www.transaction.net/

Powell, Jeff and Menno Salverda, A Snapshot on Community Currency Sistem in North America and Europe, from http://www.complementarycurrency.org/materials.php

Seron, Sidonie, Local Exchange Trading Sistem, from http://www.gmlets.u-net.com/